7 Tokoh
Paling Berpengaruh Dalam Ilmu sosiologi.
1.Florian Witold Znaniecki
Florian witold Znaniecki
Florian Witold Znaniecki lahir di Swietniki, Prussia (sekarang
Polandia) dan wafat di Champaign,Amerika Serikat. Ia adalah sosiolog
Amerika-Polish yang teori dan metodologi kerjanya menjadikan sosiologi sebagai
disiplin ilmu. Ia mempelopori bidang penyelidikan empiris dan sebagai penulis
Kebudayaan Polish.
2. Peter Ludwig Berger
Peter Ludwig Berger
Peter Ludwig Berger lahir pada tanggal 17 Maert 1929. Ia adalah
seorang sosiolog dan teolog Amerika yang terkenal berkat karyanya Th s .. Be
Social Contruction Of Reality: A treatise in the socilogy of
knowledge yang di tulisnya bersama Thomas Luckmann. Masalah
yang dikaji Peter L. Berger adalah hubungan antara masyarakat dengan Individu.
Di dalam bukunya, ia mengembangkan sebuah teori sosiologis : Masyarakat sebagai
Realitas Objektif dan Subjektif. Analisanya masyarakat sebagai realitas
subjektif mempelajari bagaimana realitas telah menghasilkan dan terus
menghasilkan individu. Ia menulis tentang bagaimana konsep-konsep atau
penemuan-penemuan baru manusia menjadi bagian dari realitas kita. Proses ini
disebutnya reifikasi.
3. Karl Max
Karl Max
Karl Heinrich Marx lahir di Trier, Jerman pada tanggal 5 mei
1818. Ia adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik, dan teori kemsyarakatan
dari Prusia. Walaupun Karl Marx menulis tentang banayak hal semasa hidupnya, ia
paling terkenal atas analisanya terhadap sejarah, terutama mengenai
pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai “sejarah dari berbagai
mesyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan
kelas”, sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari karya “Communist
Manifesto” pada tahun 1848.
4. Aguste Comte
Aguste Comte
Comte lahir di Montpellier,
sebuah kota kecil
di bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia
melanjutkan pendidikannya di Politeknik École di Paris. Politeknik École
saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan
filosofi proses. Pada tahun 1818,
politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi.
Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran
di Montpellier. Comte biasanya dihormati ketika lebih dulu Sarjana sosiologi
barat ( Ibn Khaldun setelah didahului dia di (dalam) Timur dengan
hampir empat berabad-abad). Penekanan Comte’s pada saling behubungan tentang
unsur-unsur sosial adalah suatu pertanda modern functionalism,
unsur-unsur tertentu dari pekerjaan nya kini dipandang sebagai tak ilmiah dan
eksentrik, dan visi agung sosiologi nya sebagai benda hiasan di tengah
meja dari semua ilmu pengetahuan belum mengakar.
Penekanan nya pada suatu kwantitatif, mathematical basis untuk
pengambilan keputusan tinggal dengan kita hari ini. ini merupakan suatu pondasi
bagi dugaan Paham positifisme yang modern, analisa statistik kwantitatif
modern, dan pengambilan keputusan bisnis. Uraian nya hubungan siklis yang berlanjut
antar teori dan praktik dilihat di sistem bisnis modern Total Manajemen
Berkwalitas dan Peningkatan Mutu Berlanjut di mana advokat menguraikan suatu
siklus teori [yang] berlanjut dan praktik melalui/sampai four-part siklus
rencana,, cek, dan bertindak. Di samping pembelaan analisis kuantitatif nya,
Comte lihat suatu batas dalam kemampuan nya untuk membantu menjelaskan gejala
sosial. Nah untuk teman-teman ketahui Aguste Comte ini sering juga di sebut
Bapak Sosiologi Dunia.
5. Ibnu Kaldun
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara, 27 Mei 1332
(Faghirzaedah 1982). Lahir dari keluarga terpelajar, Ibnu Khaldun dimasukkan ke
sekolah Al-Quran, kemudian mempelajari matematika dan sejarah. Semasa hidupnya
ia membantu berbagai sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol, dan Aljazair sebagai
data besar, bendaharawan dan anggota dengan dewan penasehat sultan. Ia pun
pernah dipenjarakan selama 2 tahun di Maroko karena keyakinannya bahwa penguasa
negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Setelah kurang
lebih dua dekade aktif di bidang politik, Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara.
Ia melakukan studi ilmiah tentang masyarakat, riset empiris, dan meneliti sebab-sebab
fenomena sosial. Ia memusatkan perhatian pada berbagai lembaga sosial (misalnya
lembaga politik dan ekonomi) dan hubungan antara lembaga sosial itu. Ia juga
tertarik untuk melakukan studi perbandingan antara masyarakat primitif dan
masyarakat modern. Ibnu Khaldun tak berpengaruh secara dramatis terhadap
sosiologi klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya dan sarjana muslim
khususnya meneliti ulang karyanya, ia mulai diakui sebagai sejarawan yang
mempunyai signifikansi historis.
6. Selo Soemardjan
Selo Soemardjan
ini special saya persembahkan untuk pembaca semua, yah. Selo
Soemardjan merupakan salah satu sosok paling berpengaruh dalam perkembangan
ilmu yang mempelajari masyarakat dan sekitarnya.
Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah
pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini
FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia
dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang
meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di
Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar
dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen
sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan
hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang
dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu
merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos
kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. Selama hidupnya,
Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet
Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum
Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono
IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983)
dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi
Indonesia setelah tahun 1959 — seusai meraih gelar doktornya di Cornell
University, AS — mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah
pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia
menerima Bintang Mahaputra Utama dari
pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. “Setiap hari selalu
memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu
menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya,” tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah
Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963).
Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia
menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan
dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
7. Pierre Guillaurne
Frederic Le Play
Pierre Guillaurne Frederic Le Play
Le Play, seorang Perancis, adalah salah seorang ahli ilmu
pengetahuan kemasyarakatan terkemuka abad ke-19. Dia berhasil mengenalkan
suatu metode tertentu di dalam meneliti dan menganalis gejala-gejala sosial
yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap fakta-fakta sosial dan
analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan metode case study dalam
penelitian-penelitian sosial.
Penelitian-penelitiannya terhadap masyarakat menghasilkan dalil
bahwa lingkungan geografis menentukan jenis pekerjaan, dan hal ini mempengaruhi
organisasi ekonomi, keluarga serta lembaga-lembaga lainnya. Keluarga merupakan
objek utama dalam penyelidikan. Dia berkeyakinan bahwa anggaran belanja suatu
keluarga merupakan ukuran kuantitatif bagi kehidupan keluarga sekaligus
menunjukkan kepentingan keluarga tersebut. Akhirnya dikatakan bahwa organisasi
sosial keluarga sepenuhnya terikat pada anggaran keluarga tersebut.
Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain European Workers (1855), Social Reform in France (1864), The Organization of the Family (1871),
dan The Organization of Labor (1872).
Maximilian
Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920) adalah seorang ahli ekonomi politik dan
sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi
dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi
dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang
ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan
dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama.
Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan
yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal
lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah
lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah,
sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat
modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.
Ia mendefinisikan "semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka -- tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. "Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme," demikian Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia."
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari "etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.
Ia mendefinisikan "semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka -- tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. "Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme," demikian Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia."
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari "etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."
0 komentar:
Posting Komentar